Kamis, 10 Juli 2014

SCM Hulu Migas : Masih Setengah Matang (part. 2)

"SCM yang sejatinya berfungsi utama untuk menekan cost operasi dengan seni akhirnya menjadi fungsi yang “mbuh piye carane” biaya investasi harus kembali." - @pararamparam

Seperti saat kita memasak telur mata sapi. Bisa jadi kita ingin telur kita setengah matang, atau bisa juga kita tidak tahu kalau telur yang kita masak masih setengah matang. Bagian kuning telur tampak sudah matang dari luar, tetapi ketika kita buka ternyata masih setengah matang.

Melanjutkan tulisan sebelumnya (part. 1), rasanya kurang bijaksana kalau saya hanya menghakimi SCM Hulu Migas masih setengah matang. Ada sedikit visi atau tepatnya harapan yang saya tulis di pengujung, tapi rasanya saya perlu kupas lagi apa yang terjadi di dalamnya.  Kali ini saya akan coba membagikan apa yang saya ketahui tentang SCM Hulu Migas dan mengapa bisa muncul keadaan setengah matang berdasarkan pengalaman yang sedang saya alami dan diskusi dengan beberapa relasi.

Pertama kita perlu tahu proses bisnis yang terjadi di Industri Hulu Migas.
Industri Hulu Migas lingkupnya dari eksplorasi sampai menjual minyak mentah. Bagaimana cara pengusaha berinvestasi di Industri ini adalah hal yang membedakan industry ini dengan Industri pada umumnya, apalagi manufaktur. Penanam modal (pemilik bisnis) harus berkontrak dengan Negara (diwakili oleh SKK Migas) untuk dapat memulai kegiatan eksplorasi di Indonesia. Dalam Kontrak tertulis Negara akan meminjamkan Blok (wilayah) tertentu menjadi area kerja investor (Total, Chevron, Conocoophilis, Petronas, Pertamina ep, dll).  Itulah mengapa Investor disebut KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Semua biaya investasi awal wajib didanai oleh KKKS, hanya jika minyak berhasil ditemukan dan dikomersialkan, maka biaya investasi yang dikeluarkan KKKS akan diganti oleh Negara dalam bentuk minyak dan hasil penjualan minyak dibagi bersama. Tapi, Jika tidak ditemukan minyak pada area kerja yang disewa, atau ditemukan minyak tetapi tidak bisa dikomersilkan, maka biaya investasi menjadi beban KKKS. Luar biasa cerdik kan Negara kita, mau untung tapi ga mau resiko.

Kuncinya adalah penggantian biaya investasi.
Sekali lagi betapa cerdiknya Negara kita, sudah mau untung, Negara juga tidak mau biaya investasi awal yang dikeluarkan oleh KKKS terlalu besar. Maka Negara campur tangan dalam mengatur proses pengadaan dan manajemen asset yang dilakukan oleh KKKS. Intinya supaya Investasi awal bisa dihemat dan jika harus mengganti di belakang, beban Negara tidak terlalu berat. Campur tangan Negara di lakukan dengan adanya Regulasi.

Regulasi Pemenerintah.
Kita tahu bahwa pengadaan dan manajemen asset adalah bagian dari SCM. Dan perlu kita semua tahu Regulasi yang muncul untuk mengatur proses pengadaan dan asset di KKKS itu sangat banyak, bahkan buruknya saling overlapping. Kementrian ESDM, Perindustrian, Keuangan sampai dengan Presiden turut campur memunculkan regulasi tanpa integrasi. Akibatnya pelaku SCM di KKKS seperti di sibukkan oleh semua regulasi yang berlaku. Bahkan Pemerintah juga memaksakan beberapa tatacara kerja instansi pemerintah kedalam KKKS.  Pertanyaannya kemudian menjadi apa yang terjadi jika tidak patuh ?

Sanksi ketika tidak patuh pada Regulasi adalah biaya Investasi yang tidak dapat kembali.
Pemerintah dapat melakukan audit, dan membatalkan klaim atas biaya investasi yang dikeluarkan KKKS apabila KKKS tidak mematuhi Regulasi Pemerintah yang berlaku. Hal ini selain menyibukkan pelaku SCM pada Industri Hulu Migas untuk patuh, juga membuat fungsi SCM Hulu Migas bergeser. SCM yang sejatinya berfungsi utama untuk menekan cost operasi dengan seni akhirnya menjadi fungsi yang “mbuh piye carane” biaya investasi harus kembali.

Pergeseran fungsi SCM ini bisa saja tidak disadari oleh para pelaku di Industri Hulu Migas, bahkan termasuk instansi pemerintah yang seharusnya mampu mengaturnya. Seperti saat kita memasak telur mata sapi, kita merasa sudah memasak dengan cara yang benar, tetapi ketika kuning telur dibuka kita baru mengetahuinya.

Jadi jika saya tarik dengan satu kata maka beban pada SCM Hulu Migas adalah Environment.
Jauh berbeda dengan SCM pada manufaktur dimana pemerintah tidak ikut campur, SCM pada hulu migas hidup pada environment yang penuh dengan peraturan dengan sanksi yang telak. Salah satu kasusnya adalah Bioremidiasi Chevron.
Saya Harap tulisan ini dapat dibaca oleh rekan-rekan pelaku SCM Industri Hulu Migas. Syukur kalau ada rekan dari SKK Migas yang terinspirasi sehingga suatu saat tiba-tiba membawa SCM Hulu Migas untuk  bergerak ke level selanjutnya.
Dan untuk rekan-rekan SCM Industri Hulu Migas yang setuju, yuk mari. Kita tidak harus selalu menunggu angin dari pemerintah.

@pararamparam


tebet - 2014

0 comments:

Posting Komentar